KLORAMFENIKOL

Kloramfenikol diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae. Karena ternyata Kloramfenikol mempunyai daya antimikroba yang kuat maka penggunaan Kloramfenikol meluas dengan cepat sampai pada tahun 1950 diketahui bahwa Kloramfenikol dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal.
Kloramfenikol bersepektrum luas ini berkhasiat :
Bacteriostatis terhadap hampir semua kuman Gram positif fan sejumlah kuman Gram negatif, juga Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat adalah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman.
Efek toksis Kloramfenikol pada sel mamalia terutama terlihat pada sistem hemopoetik/darah dan diduga berhubungan dengan mekanisme kerja Kloramfenikol.

Penggunaan 
Farmakokinetik 
Resorpsinya dari usus cepat dan agak lengkap, dengan BA 75-90%. Difusi ke dalam jaringan, rongga dan cairan tubuh baik sekali, kecuali ke dalam empedu. Waktu paruhnya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% dari zat ini dirombak menjadi glukuronida inaktif. Ekskresinya melalui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh.

Efek samping
  1. Reaksi hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk yaitu; 
·        Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang.
Kelainan ini berhubungan dengan dosis, menjadi sembuh dan pulih bila pengobatan dihentikan. Reaksi ini terlihat bila kadar Kloramfenikol dalam serum melampaui 25 mcg/ml.
Depresi tulang ini sangat berbahaya dan dapat berwujud dalam dua bentuk anemia, yakni sebagai :
o       Penghambantan pembentukan sel-sel darah (eritosit, trombosit dan granulosit) yang timbul dalam waktu 5 hari sesudah dimulainya terapi. Gangguan ini tergantung dosis serta lamanya terapi dan bersifat reversibel.
o       Anemia aplastis, yang dapat timbul sesudah beberapa minggu sampai beberapa bulan pada penggunaan oral, parenteral dan okuler, maka tetes mata tidak boleh digunakan lebih dari 10 hari.
·        Bentuk yang kedua bentuknya lebih buruk karena anemia yang terjadi bersifat menetap seperti anemia aplastik dengan pansitopenia. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Efek samping ini diduga disebabkan oleh adanya kelainan genetik.

2.    Reaksi alergi
Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis. Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam Tifoid walaupun yang terakhir ini jarang dijumpai.

3.    Reaksi saluran cerna
Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.

4.    Sindrom gray
Pada bayi baru lahir, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kg BB) dapat timul sindrom Gray, biasanya antara hari ke 2 sampai hari ke 9 masa terapi, rata-rata hari ke 4.
Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusui, pernafasan cepat dan tidak teratur, perutkembung, sianosis dan diare dengan tinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat.
Pada hari berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi pula hipotermia (kedinginan).

5.    Reaksi neurologik
Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.

Penggunaan klinik 
Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi
sebaiknya obat ini hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid, salmonelosis lain dan infeksi H. influenzae. Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain yang lebih aman dan efektif.
Kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk bayi baru lahir, pasien dengan gangguan hati dan pasien yang hipersensitif terhadapnya.

Sediaan
Terbagi dalam bentuk sediaan :
·       Kapsul 250 mg,
Dengan cara pakai untuk dewasa 50 mg/kg BB atau 1-2 kapsul 4 kali sehari.
}Keempat sediaan di atas dipakai beberapa kali sehari.

 
Untuk infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2 x pada awal terapi sampai didapatkan perbaikan klinis.
·       Salep mata 1 %
·       Obat tetes mata 0,5 %
·       Salep kulit 2 %
·       Obat tetes telinga 1-5 %
·       Kloramfenikol palmitat atau stearat
Biasanya berupa botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 l mengandung Kloramfenikol palmitat atau stearat setara dengan 125 mg kloramfenikol). Dosis ditentukan oleh dokter.
·        Kloramfenikol natrium suksinat
Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara dengan 1 g kloramfenikol yang harus dilarutkan dulu dengan 10 ml aquades steril atau dektrose 5 % (mengandung 100 mg/ml).

Resistensi 
Dapat timbul dengan agak lambat tetapi resistensi ekstra kromosomal melalui plasmid juga terjadi antara lain terhadap basil tifus perut.

Kehamilan dan Laktasi 
Penggunaannya tidak dianjurkan, khususnya selama minggu-minggu terakhir dari kehamilan, karena dapat menimbulkan cyanosis dan hypothermia pada neonati, akibat ketidakmampuannya untuk mengkonyugasi dan mengekskresikan obat ini, sehingga sangat meningkatkan kadarnya dalam darah.
Berhubung kemampuannya melintasi plasenta dan mencapai air susu ibu, maka tidak boleh diberikan selama laktasi.

Dosis
o       Pada tifus permulaan 1-2 g (palmitat), lalu 4 dd 500-750 mg pc.
o       Neonati maksimal 25 mg/kg/hari dalam 4 dosis
o       Anak-anak diatas 2 minggu 25-50 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis. Pada infeksi parah (meningitis, abces otak) iv 4 dd 500-1500 mg (Na-suksinat)

Tiamfenikol 
Adalah derivat p-metilsulfonil (-SO2CH3) dengan spektrum kerja dan sifat yang mirip kloramfenikol, tetapi kegiatannya agak lebih ringan.
Indikasi
Pada infeksi tifus dan salmonella, juga digunakan pada infeksi saluran kemih dan saluran empedu oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik lain.

Sediaan :
o       Kapsul 250 dan 500 mg.
o       Botol berisi pelarut 60 ml dan bubuk Ttiamfenikol 1.5 g yang setelah dilarutkan mengandung 125 mg Tiamfenikol tiap 5 ml.

Dosis
o       Tifus perut 4 dd 250-500 mg selama maksimal 8 hari, di atas 60 tahun 2 dd 500 mg, anak-anak 20-30 mg/kg/hari.
o       Gonore : 1 x 2.5 g

Labels: , ,